Identitas Buku:
Hugh Goddard, Sejarah Perjumpaan
Islam-Kristen: Titik Temu dan Titik Seteru Dua Komunitas Agama Terbesar di
Dunia. Jakarta: Serambi, 2013. 402 halaman.
Pendahuluan
Buku karya
Hugh Goddard ini, boleh jadi dapat dipandang sebagai buku yang agak tertinggal
jika dibandingkan dengan buku Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di
Indonesia karya Jean S. Aritonang (2004), atau karya Fatimah Husein (2005)
yang berjudul Muslim-Christian Relations in The New Order Indonesia,
yang langsung menukik pada pembahasan dalam konteks lokal Indonesia, dan yang
lebih khusus lagi buku karya Alwi Shihab (1998) dengan judul Membendung Arus:
Respons Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia.
Sehingga tiga buku yang disebutkan terakhir ini mampu memberikan pandangan yang
cukup kontekstual. Sedangkan buku yang disebut pertama memberikan pandangan
yang global, tetapi perspektif global ini dapat menjadi bekal ketika masuk
dalam konteks yang lebih lokal. Meminjam
teorisasi ‘sejarah global,’ membaca buku karya Goddard ini sebaiknya dengan
semangat pandangan bahwa, perkembangan
historis di suatu wilayah tertentu tidaklah terjadi dan berlangsung dalam
situasi vakum dan isolatif (Azra, 2006 dan 2011).
Bukti
terkaitnya isu global dengan isu lokal dalam konteks relasi Islam-Kristen ini,
adalah tampak dalam berbagai karya-karya yang disebut di atas yang selalu
mengaitkan awal perjumpaan Muslim Indonesia dengan umat Kristiani dengan
kedatangan bangsa-bangsa Eropa ke kepulauan Nusantara, yang kini disebut dengan
Indonesia. Bangsa-bangsa Eropa tersebut misalnya adalah Portugis, Spanyol dan
Belanda (Aritonang, 2004 dan Shihab, 1998), yang kemudian diperkuat lagi oleh
Karel Steenbrink (2006) dalam Dutch Colonialism and Indonesian Islam
ketika membahas “The Age of Mission (1850 – 1940) and The Muslims” dan “Indonesian
Reactions to The Christians Arrival.” Bahkan dalam karya Fatimah Husein
(2005) dibahas pula relasi umat Islam-Kristen mulai pada masa Islam Klasik,
yang diwakili oleh Ibn Taymiya (w. 1328) dan Ibn Hazm (w. 1064), dan pada abad
20 dalam konteks wacana dialog antara iman Internasional.
Buku Goddard
ini, yang diterjemahkan dari bahasa Inggris dengan judul A History of
Christian-Muslim Relations, tidaklah terlalu lama terbit, yakni tahun 2000,
dan terjemahannya baru terbit dalam bahasa Indonesia pada Januari 2013. Jadi
analisis-analisis atau kesimpulan-kesimpulannya masih mungkin untuk
dipertimbangkan dalam kerangka dialog Islam-Kristen di Indonesia. Sebagai
gambaran, buku ini dibagi menjadi delapan bab. Berturut-turut judul-judul
babnya adalah sebagai berikut: “Kondisi Kristen ketika Islam Datang,”
“Gelombang Kedatangan Islam,” “Era Pertama Perjumpaan Kristen-Islam (+/-
830 M/215 H).” “Periode I Abad
Pertengahan: Konfrontasi atau Interaksi di Timur?” “Periode II Abad
Pertengahan: Konfrontasi atau Interaksi di Barat?” “ Gelombang yang Berbalik:
Barat yang Berdakwah dan Barat yang Menjajah,” “Pemikiran Baru pada Abad
ke-19/ke-13 dan ke-20/ke-14.” Jika dilihat, judul-judul bab tersebut
menggambarkan kronologis relasi Islam-Kristen bersama dengan isu-isu yang
mengemuka di masing-masing rentang waktu
kronologis tersebut. Telaah berikut mencoba membahas bagian-bagian dari
beberapa analisis dan kesimpulannya yang dipandang penting. Namun sebuah teks
tidak terlepas dari subyetifitas dan horison pengarangnya, maka penting
diketahui latar belakang Hugh Goddard, sang penulis buku.
Hugh Goddard Menepis Standar Ganda
Hugh Goddard adalah seorang Kristiani yang menjadi guru besar studi Islam di Universitas
Edinburgh. Ia juga adalah direktur The Prince Alwaleed Bin Talal Centre
for the Study of Islam in the Contemporary World di
tempat yang sama. Pendidikan kesarjanaannya dimulai di Universitas Oxford
dengan mengambil fokus studi sejarah Islam di bawah asuhan Albert Hourani,
seorang pakar kajian
Timur Tengah serta penulis buku Arabic Thought in the Liberal Age 1798 -
1939 yang terkenal dan sudah menjadi
klasik. Gelar doktor diraihnya dari The Centre for
the Study of Islam and Christian-Muslim Relations di Brimingham. Sebelum
menjadi guru besar di Universitas Edinburgh, ia pernah bekerja di beberapa
negara di Timur Tengah, seperti Libanon, Yordania, dan Mesir. Ia juga
berpengalaman melakukan penelitian di beberapa negeri-negeri Islam lainnya,
seperti Pakistan, India, Nigeria, Malaysia, Indonesia, dan negara-negara di
Asia Tengah. Terakhir ia menjadi guru besar hubungan Kristen-Muslim di
Departmen studi teologi dan agama-agama di Universitas Nottingham pada 2004
sebelum akhirnya menjadi guru besar di Universitas Eddinburgh.
Selain
buku A History of Christian-Muslim Relations, ia juga menulis beberapa
buku lainnya yang masih terkait dengan tema hubungan Islam-Kristen, yakni Christians
and Muslims: From Double Standards to Mutual Understanding (1995)—yang
sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Menepis Standar
Ganda: Membangun saling pengertian Muslim-Kristen (2000), dan Muslim
Perceptions of Christianity (1996). Selain itu ia juga menulis sekitar 35 artikel
yang dimuat dalam jurnal ilmiah, maupun sebagain bagian dalam sebuah buku atau
ensiklopedi. Dari tulisan-tulisannya tampaknya memang Goddard
adalah seorang yang menekuni pemikiran dan gerakan dialog Islam-Kristen.
Salah satu pemikirannya yang penting dikemukakan di
sini adalah mengenai pandangan standar ganda dalam hubungan Islam-Kristen,
sebagaimana yang termuat dalam bukunya Christians
and Muslims: From Double Standards to Mutual Understanding.
Ia berpandangan bahwa hubungan
Kristen dan Islam kemudian berkembang menjadi kesalahpahaman, bahkan
menimbulkan suasana saling menjadi ancaman di antara keduanya, adalah disebabkan oleh suatu kondisi berlakunya “standar ganda.” Orang-orang Kristen maupun Islam selalu menerapkan
standar-standar yang berbeda untuk dirinya yang lebih normatif misalnya, sedangkan terhadap agama lain
mereka memakai standar lain yang lebih bersifat realistis dan historis. Dalam masalah teologi misalnya, ada standar yang menimbulkan
masalah klaim kebenaran: “agama kita adalah agama yang paling sejati karena
berasal dari tuhan, sedangkan agama lain hanyalah konstruksi manusia. Agama
lain mungkin juga berasal dari Tuhan tapi telah dirusak, dipalsukan oleh
manusia”. Dalam sejarah, standar ganda ini biasanya dipakai untuk menghakimi
agama lain dalam derajat keabsahan teologis di bawah agamanya. Lewat standar
ganda inilah, kita menyaksikan munculnya prasangka-prasangka teologis yang
selanjutnya memperkeruh suasana hubungan antar umat beragama. Tegasnya ada standar yang berbeda untuk menilai agama
sendiri dan agama orang lain. Dialog tidak akan berhasil jika selalu memajukan
standar ganda ini, padahal pandangan yang sederajat sebagai sebuah etika dialog
penting dikedepankan. Proses dialog apa pun mengandaikan suatu hubungan yang
sederajat, yang di dalamnya kedua komunitas bisa saling menerima dan
menghormati satu sama lain dengan batas-batas yang telah disetujui (Shihab,
1999).
Dengan asumsi adanya standar ganda
inilah, Goddard menulis Sejarah
Perjumpaan Islam-Kristen. Sebagaimana diketahui dalam studi perbandingan agama atau studi
agama-agama pada umumnya, setidaknya ada dua kelompok besar cara pandang atau
pendekatan, yakni normatif dan deskriptif-historis (Shihab, 1999 dan Abdullah, 1996).
Pendekatan normatif menitikberatkan pada kajian mengenai normativitas ajaran
agama, sedangkan pendekatan deskriptif-historis terkait dengan historisitas
pemahaman dan interpretasi orang atau kelompok terhadap ajaran dan praktik
keagamaan yang dianutnya. Pendekatan normatif adalah upaya untuk menjelaskan sebuah
agama dengan menitikberatkan kebenaran doktrinal, keunggulan sistem nilai,
otentisitas teks serta fleksibilitas ajarannya sepanjang masa. Pendekatan ini
dengan sendirinya menggunakan cara-cara yang bersifat persuasif-apologetik
dalam mempertahankan keunggulan ajaran agamanya. Dalam membandingkan suatu
agama dengan agama lain, penekanan unsur-unsur kelemahan dan kekurangan pihak
lain selalu ditonjolkan. Pendekatan deskriptif-historis menguraikan secara
komprehensif aspek-aspek kesejarahan, struktur, doktrin, dan elemen-elemen
lainnya tanpa terlibat dalam pemberian penilaian (Shihab, 1999: 46 – 47). Pendekatan
deskriptif-historis ini didekati dan diteliti dengan disiplin-disiplin seperti
sosiologi, filsafat, psikologi,
antropologi kebudayaan dan sejarah (Abdullah, 2005: vii).
Mana yang dipilih oleh Goddard? Dalam konteks buku ini tampaknya ia
lebih memilih pendekatan yang kedua, yakni deskriptif-historis. Hal ini tampak
jelas dalam bagian pendahuluan bukunya. Ia menulis: “Sebuah buku yang berusaha
meneliti hubungan Kristen-Islam selama berabad-abad dan di berbagai kawasan
geografis perjumpaan keduanya tentu saja akan menjadi bahan rujukan yang sangat
aktual.” Jelas ini adalah sebuah pendekatan sejarah, sebuah pendekatan yang “membantu
mereka (umat Kristiani dan Muslim) memahami bagaimana mereka tiba dalam situasi
saat ini (h. 17). Memang, pendekatan deskriptif-historis, sebagaimana yang
disinyalir oleh Alwi Shihab (1999: 49) penting untuk menghindari konflik agama.
Pendekatan deskriptif-historis dapat memberikan saling pengertian antarumat
beragama, dan kesaling pengertian ini adalah salah satu syarat tercapainya
kerukunan antarpemeluk agama.
Kesamaan
Asal-Usul
Siapapun yang
mengkaji hubungan agama-agama tradisi Ibrahim (Abrahamic religions),
yakni Yahudi, Kristen dan Islam, sadar akan kesamaan asal-usul ketiga agama
ini, baik secara geografis maupun tokoh-tokoh yang membawa risalahnya, meskipun
masing-masing mempunyai pandangan yang
berbeda secara teologis atas para utusan Tuhannya. Kesadaran akan kesamaan
tersebut juga tampak ditunjukkan oleh Goddard. Ia mengakui, sejak di awal
pendahuluan bukunya, bahwa agama Islam dan Kristen lahir dan berkembang di
Timur Tengah, sebuah wilayah yang oleh Marshall Hudgson (1977: 60) disebut
dengan ‘Nile to Oxus’. Bahkan dilihat dari sudut tertentu, ketiga agama
tradisi Ibrahim ini bertemu dalam satu wilayah dan bangunan peribadahan yang
sama, yakni Jerusalem, yang saat ini menjadi wilayah Israel dan Palestina. Namun buru-buru dikemukakan juga bahwa
meskipun ketiganya sama dalam hal asal-usul geografis dan tokoh-tokoh pembawa
risalahnya, ketiganya juga mempunyai
pandangan teologis yang sama. Karenanya menjadi sangat berlebihan untuk begitu
saja menyamakan ketiga sistem teologi ketiga agama ini, termasuk dalam
memandang hubungan Islam-Kristen.
Tidak hanya sistem
teologi yang berbeda, wilayah cakupan pemeluk agama Kristen dan Islam dalam
perkembangannya menjangkau wilayah juga berbeda dan menjadi agama mayoritas,
yakni Kristen di Eropa dan Amerika, sementara Islam di Afrika dan Asia. Selama
berabad-abad, terutama pada abad pertengahan dan modern, perimbangan kekuatan
dua agama besar ini menglamai perkembangan yang fluktiatif. Terkadang umat
Islam yang bergerak aktif, sedangkan umat Kristen bereaksi terhadap
perkembangan tersebut. Sebaliknya, di lain waktu umat Kristen aktif bergerak
dan umat Islam memberikan reaksi terhadap gerakan tersebut. Selanjutnya pada
perkembangan dewasa ini, Goddard berargumen bahwa terjadi peningkatan dalam perimbangan
kekuatan Islam-Kristen. Hal ini disebabkan karena arus globalisasi dalam bidang
perdagangan dan informasi turut menyemarakkan interaksi dan perjumpaan
Islam-Kristen.
Kesamaan asal-usul tampak dalam bagian pembahasan “Sejarah Gereja
Kristen di Timur Tengah.” Goddard berargumen bahwa ada kesamaan antara Gereja
Kristen dan komunitas Islam, keduanya memiliki asal-usul di Timur Tengah. Perkembangan
Gereja Kristen di Timur Tengah menjadi terpecah sejak masuknya Kaisar Romawi,
Konstantinus, ke dalam agama Kristen pada dasawarsa kedua abad keempat. Sejak saat
itulah Gereja Kristen terpisah menjadi dua, yakni Gereja Kristen Barat dan Gereja
Kristen Timur. Ketika Gereja Kristen tengah tercabik-cabik oleh pertikaian
internal, Islam lalu muncul pada abad ketujuh. Atas dasar pertikaian ini
kalangan Islam, sebagaimana yang ditunjukkan dalam al-Quran (5:14), menolak
klaik kaum Kristiani sebagai pemilik kebenaran (h. 34).
Meskipun semua pengaruh Kristen di wilayah perbatasan Jazirah Arab yang
masih merupakan zona Timur Tengah (Nile to Oxus), agama Kristen tidak
punya peran yang cukup berarti terhadap perkembangan masyarakat di Jazirah Arab
sendiri. Inilah alasan mengapa Islam, yang dirisalahkan melalui Muhammad
mendapat tempat di kalangan penghuni Jazirah Arab, terutama di Madinah (h. 43).
Goddard mencatat selama perkembangan ajaran Muhammad di Madinah, antara 622 dan
623 M, ada beberapa pola hubungan yang terjalin antara kaum Muslim dengan yang
bukan Muslim, termasuk di dalamnya kaum Yahudi dan Kristen. Al-Quran sendiri
mengungkapkan beberapa pernyataan positif mengenai Yesus dan orang Kristen,
yang diperkirkan berasal dari periode tengah kenabian Muhammad, ketika hubungan
antara kaum Muslim dengan kaum Yahudi sedang memanas. Di lain kesempatan, ada
satu periode sikap dan tindakan Muhammad terhadap komunitas Yahudi tampak
toleran sebagaimana yang terbaca dalam piagam Madinah, dan di lain kesempatan
lagi, tampak lebih kaku dank eras sebagaimana dialami oleh kaum Yahudi Khaibar.
Namun, yang penting dicatat menurut Goddard, di akhir hayatnya, Muhammad
menampakkan sikap yang lebih moderat kepada kaum Yahudi dan Kristen, serta
menerima keduanya sebagai bagian dari masyarakat Madinah. Sikap-sikap
moderat dan toleran ini juga dibenarkan oleh Quraish Shihab dalam Membaca
Sirah Nabi Muhammad Saw (2012: 40), yang menyatakan bahwa meskipun terdapat
perbedaan keyakinan yang jauh berbeda, antara umat Islam dengan keyakinan umat
Kristen dalam hal ketuhanan, namun itu tidak mengakibatkan konflik antara Nabi
Muhammad dan sahabat-sahabatnya dengan kaum Kristiani ini. Hal ini bukan saja
disebabkan sedikitnya jumlah orang Kristen baik di Mekkah maupun Madinah,
tetapi juga karena mereka tidak seperti orang-orang Yahudi yang merasa diri
mereka “bangsa pilihan Tuhan,” sehingga angkuh dan cenderung menindas, apalagi
mereka sangat materialistis.
Abad Pertengahan:
Interaksi dan Konfrontasi
Sebagai satu
fenomena yang menarik dalam sejarah perjumpaan Islam-Kristen, hubungan keduanya
tidak pernah berjalan di atas satu pola yang baku, tetapi terus mengalami
perubahan dari waktu ke waktu. Selama
periode pertama perjumpaan Islam-Kristen, masing-masing pihak menampilkan
pandangan yang beragama terhadap pihak lain. Kaum Kristen sendiri memandang dan
memahami Islam berbeda-beda: Islam sebagai pemenuhan janji Tuhan kepada
Abraham/Ibrahim dan Ismail; sebagai hukuman Tuhan atas kaum Kristen yang keliru
merumuskan ajaran Kristologi mereka; atau Islam sebagai bidah Kristen. Begitu
juga, kaum Muslim memperlakukan dan memandang Kristen dengan cara yang
berbeda-beda, dari sikap yang mengedepankan permusuhan hingga sikap yang lebih
toleran dan damai dengan menerapkan beberapa syarat dan batasan (h. 102). Penting
dicatat, tanggapan dan pandangan kaum Kristen terhadap Islam sangat dipengaruhi
oleh perlakukan penguasa Muslim terhadap mereka, yang perlakukan itu
berbeda-beda seiring dengan perkembangan zaman.
Pada tahap lanjutan ini, yang terjadi di abad pertengahan, Goddard
membagi menjadi dua periode: periode I dan periode II. Periode pertama terjadi
di Timur, sedangkan periode kedua terjadi di Barat. Di masing-masing periode
terjadi konfrontasi maupun interaksi. Hal yang menarik interaksi pada periode
Timur adalah interaksi dalam hal proyek pengembangan ilmu pengetahuan, yang
dikembangkan oleh Khalifah al-Ma’mun (berkuasa pada 813 – 833 M) pada masa
dinasti Abbasiyah. Khalifah al-Ma’mun mendirikan Bayt al-Hikmah di
Baghdad, yang bertujuan untuk menerjemahkan karya-karya Yunani dan karya-karya
lain ke dalam bahasa Arab. Proyek penerjemahan ini banyak melibatkan orang
Kristen. Khalifah al-Ma’mun bukan yang pertama melakukan proyek ini, para
penduhulunya, Khalifah al-Mansur (754 – 775 M) dan Harun al-Rasyid (786 – 809 M)
telah mengawali gerakan penerjemahan ini. Namun, masa al-Ma’mun menampilkan
contoh awal tentang dialog Kristen-Islam: para utusan dari tiap kelompok agama diizinkan mengemukakan dasar dan
praktik agama mereka dengan tingkat kejujuran dan keterbukaan yang tinggi.
Proses pertukaran budaya pada masa ini terus berlangsung (h. 108). Kaum Kristen
pun, pada masa ini banyak menggunakan bahasa Arab, suatu bahasa yang dikenal
sebagai bahasa wahyu al-Quran dalam Islam. Dicatat oleh Goddard, banyak
penerjemahan Injil ke dalam bahasa Arab, bahkan bahasa Arab juga digunakan
digunakan sebagai bahasa Liturgi, setelah bahasa-bahasa Yunani, Persia, dan
Koptik (h. 114).
Selanjutnya, kontak Islam dengan Kristen Barat bermula dari serangkaian
penaklukan pasukan Islam atas beberapa wilayah Eropa atau semanjung Iberia
setelah sebelumnya menaklukan kota Toledo (sebuah kota di Spanyol sekarang),
yang dipimpin oleh Panglima Thariq. Pada saat itulah seluruh Eropa Barat
menyadari kedatangan Islam. Penilaian yang sangat buruk terhadap Islam, yang
berkembang di Spanyol pada abad kesembilan inilah yang mendasari kemunculan
gerakan lain dalam Kristen di penghujung abad kesebelas, yaitu gerakan Kristen
militan melalui perang salib. Oleh karena itu, perang salib
meninggalkan jejak-jejak kecurigaan yang melekat dengan kuat dalam diri bangsa
Arab dan di seluruh dunia Islam. Perang salib mewariskan enam hal: pertama,
di kalangan Muslim, perang salib mewariskan kecurigaan abadi terhadap kalangan
Kristen Barat; kedua, semua rangkaian perang salib juga mendorong
kebangkitan ekspansi Islam; ketiga, perang salib menegaskan sentimen di
kalangan Muslim, bahwa Yerusalem merupakan tempat suci ketiga bagi Islam; keempat,
bagi kaum Kristen, perang salib bertanggung jawab atas memburuknya posisi kaum
Kristen yang hidup di bawah pemerintahan Muslim, karena mereka senantiasa
dicurigai; kelima, perang salib melapangkan jalan bagi keterlibatan
Gereja Barat di Timur Tengah; keenam, perang salib juga memberikan
kontribusi terhadap perkembangan hubungan antara dunia Barat dengan Islam (h.
179 – 180).
Terkait dengan
warisan yang keenam ini, lebih lanjut Goddard mencatat bahwa ironi dalam
sejarah Abad Pertengahan di Barat adalah: pada saat yang sama ketika perang
salib terjadi, berlangsung pula di beberapa bagian Eropa, berlangsung pula
pertukataran intelektual dan kultural antara kaum Muslim dengan kaum Kristen.
Seperti di Baghdad pada abad kesembilan yang terjadi penerjemahan karya-karya
intelektual Yunani ke dalam bahasa Arab, di Spanyol abad kedua belas pun
terjadi hal yang sama. Hanya saja yang terjadi adalah penerjemahan dari bahasa
Arab ke dalam bahasa Latin (h. 192). Sebagaimana diketahui, pada tahun 1000,
Eropa mengalami kemunduran dalam bidang intelektual, lemah dan terpecah-pecah
dalam bidang politik, dan dari sisi sosial-ekonomi lebih jauh tertinggal jika
dibandingkan dengan dunia Islam. Namun, pada abad kedua belas, keadaan mulai
berubah akibat penyebaran Yunani ke Barat melalui dunia Islam. Bahkan George
Makdisi (1981), seorang sejarawan lembaga pendidikan Islam, menyatakan bahwa pengaruh
Islam tampak dalam kelembagaan pendidikan yang berkembang di Eropa Barat. Lalu,
di Eropa Barat munculah apa yang disebut era Renaissance dan merupakan
awal dari modernisme.
Era ini
kemudian menjadikan gelombang yang berbalik, yakni menjadi Barat yang berdakwah
dan Barat yang menjajah. Seraya bangkitnya kekuatan Eropa dan era penjajahan
terhadap bangsa-bangsa Muslim di benua Asia dan Afrika, terjadi pula penyebaran
misi Kristen. Tentu saja penyebaran misi ini didorong oleh keyakinan teologis
para missionaris Kristen, yang dilapangkan jalannya oleh imperialisme.
Menghadapi perkembangan kekuatan dan imperialisme Eropa di satu pihak dan
peningkatan misi Kristen di lain pihak, dunia Islam bereaksi dengan berbagai
cara yang berbeda-beda. Keragaman ini disebabkan luas dan beragamnya dunia
Islam itu sendiri. Untuk konteks Indonesia, simbiosis mutualisme antara
imperialisme dan misi Kristen serta responnya dengan sangat baik dijelaskan
oleh Steenbrink (2006).
Pemikiran
Baru: Abad ke-19 dan ke-20
Seiring dengan
berjalannya aktivitas misi dan imperialisme, berkembang juga di sisi lain suatu
kajian akademik tentang Islam. Meskipun para sarjana Barat tetap saja tidak
sepenuhnya berhasil melakukan kajian obyektif dan tidak memihak, sebagaimana
yang disinyalir oleh Edward Said (1979) yang banyak mengkritik ideologi
orientalisme. Sebagaimana dikemukakan oleh Steenbrink (2006) dan Baso (2005)
dalam Islam Pasca-Kolonial: Perselingkuhan Agama, Kolonialisme dan
Liberalisme, untuk kasus Indonesia, terdapat beberapa sarjana yang memang mengkaji
Islam “untuk kepentingan” kolonialisme Belanda, seperti K.F. Holle (1829 –
1896), Snouck Hurgronje dan Godard Arend Hazeu. Namun ideologi orientalisme dan
misi Kristen bukan merupakan hal yang dapat digeneralisasi. Setidaknya ada tiga
tipologi pandangan kaum Kristen terhadap kaum Muslim, dan begitu sebaliknya
pandangan kaum Muslim terhadap kaum Kristen, yakni: eksklusif, inklusif, dan
pluralisme (h. 282).
Pada abad
kedua puluh juga menandakkan munculnya hasrat besar untuk berdialog, meskipun
perkembangan ini tidak sepenuhnya baru, namun perkembangan baru abad kedua
puluh melibatkan aktivitas pemikiran yang lebih maju, yang ditunjang oleh
perkembangan kajian kritis modern terhadap agama. Konsili Vatikan II menjadi penanda penting yang mengubah pandangan
Kristen tradisional yang eksklusif terhadap Islam. Konsili itu juga mengajak
umat Kristen dan kaum Muslim untuk melupakan masa lalu dan berusaha dengan
tulus untuk saling memahami dan bekerjasama satu sama lain. Goddard juga
mencatat beberapa upaya dialog yang dilakukan oleh kaum Kristen, baik Katolik
yang diwakili oleh Vatikan, maupun Protestan melalui Dewan Gereja Sedunia (h.
322 – 333). Banyak topik yang menarik yang muncul dalam berbagai konfrensi
dialog Islam-Kristen tersebut, di antaranya adalah mengenai masalah kontroversial
tentang misi/dakwah dan kedudukan penganut agama minoritas. Dalam konteks
tertentu dialog antar agama juga terjalin seiring dialog politik antar negara
pasca akhirnya masa kolonialisme.
Hal yang penting diperhatikan sebagaimana dikemukakan oleh Goddard,
adalah kesimpulannya bahwa inisiatif dialog lebih banyak berasal dari kalangan
Kristen. Kenyataan ini, dalam batas-batas tertentu juga diakui oleh para
penulis Muslim sendiri tentang hubungan Islam-Kristen. Namun, kenyataan ini
tidak berarti bahwa kaum Muslim tidak pernah terlibat dialog dan tidak pernah
berinisiatif dalam dialog Islam-Kristen, sebagaimana yang dilakukan oleh Raja
Maroko, Hasan II (1962 – 1999) pada 1985. Sangat disayangkan, Goddard tidak
mengulas lebih dalam alasan-alasan sedikitnya inisiatif kaum Muslim untuk
dialog Islam-Kristen, yang justru penting bagi bahan evaluasi kalangan Muslim.
Penutup
Uraian sejarah relasi Islam-Kristen Goddard berhenti hingga abad ke-20,
dan menyisakan pertanyaan tentang relasi tersebut pada abad ke-21, yang sedang
dijalani oleh umat manusia
sekarang. Buku ini memang cukup ambisius. Tidak seperti buku-buku lain dengan
tema yang sama tetapi lebih terfokus pada kasus-kasus tertentu, buku ini
merentangkan sejarah hubungan Islam-Kristen dalam masa yang berabad-abad.
Akibatnya detil-detil kasus dialog atau konfrontasi di tingkat lokal, seperti
di berbagai negara agak terabaikan. Tentu saja ini menjadi kekurangan
tersendiri dan sekaligus, sebagaimana dikemukakan dalam bagian pendahuluan
tulisan ini, menjadi kelebihan karya Goddard. Terlepas dari kekurangan itu,
buku ini menjadi bahan rujukan yang penting, untuk mengambil pelajaran—terlebih
bagi pembuat kebijakan (decision maker)—tentang dinamika hubungan
Islam-Kristen di tingkat global, dalam konteks Indonesia di mana penganut kedua
agama tersebut jumlahnya signifkan.
Daftar Bacaan
Abdullah, M. Amin. 1996. Studi
Agama: Normativitas atau Historisitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
-------. 2005. “Kata Pengantar,”
dalam Kitab Suci Agama-Agama, Wilfred Cantwell Smith. Jakarta: Teraju.
Aritonang, Jean S. 2004. Sejarah
Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia. Jakarta: BPK.
Azra, Azyumardi. 2006.
“Historiografi Islam Indonesia: Antara Sejarah Sosial, Sejarah Total, dan
Sejarah Pinggir,” dalam Menjadi Indonesia: 13 Abad Eksistensi Islam di Bumi
Nusantara, eds. Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF. Jakarta: Mizan.
-------. 2011. “Historiografi
Kontemporer Indonesia,” dalam Panggung Sejarah: Persembahan kepada Prof. Dr.
Denys Lombard, eds. Henri Chambert-Loir dan Hasan Muarif Ambary. Jakarta:
EFEO.
Baso. Ahmad. 2005. Islam
Pasca-Kolonial: Perselingkuhan Agama, Kolonialisme dan Liberalisme.
Bandung: Mizan.
Goddard, Hugh. 2000. Menepis
Standar Ganda: Membangun saling pengertian Muslim-Kristen. Yogyakarta:
al-Qolam.
Hudgson, Marshall G.S. 1977. The Venture of Islam, Conscience and
History in World Civilization: The Classical Age of Islam. Chicago and
London: The University of Chicago Press.
Husein, Fatimah. 2005. Muslim-Christian
Relations in The New Order Indonesia: The Exclusivist and Inclusivist Muslims’
Perspective. Bandung: Mizan Pustaka.
Makdisi, George. 1981. The Rise
of Colleges: Institution of Learning in Islam and the West. Edinburgh:
Edinburgh University Press.
Said, Edward W. 1979. Orientalism.
New York: Vintage Books.
Shihab, Alwi. 1998. Membendung
Arus: Respons Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen di
Indonesia. Bandung: Mizan.
-------. 1999. Islam
Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama. Bandung: Mizan.
Shihab, Quraish. 2012. Membaca
Sirah Nabi Muhammad Saw dalam Sorotan al-Quran dan Hadits-Hadits Shahih. Jakarta:
Lentera Hati.
Steenbrink,
Karel. 2006. Dutch Colonialism and Indonesian Islam: Contacts and Conflicts
1596 – 1950. Amsterdam – New York: Rodopi B.V.
(Tulisan ini terbit di Jurnal Harmoni Puslitbang Kehidupan Keagamaan pada tahun 2013)
(Tulisan ini terbit di Jurnal Harmoni Puslitbang Kehidupan Keagamaan pada tahun 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar