Kamis, 06 Februari 2014

Dialog Islam-Kristen dalam Sejarah: Konteks Global dan Lokal


Identitas Buku:

Hugh Goddard, Sejarah Perjumpaan Islam-Kristen: Titik Temu dan Titik Seteru Dua Komunitas Agama Terbesar di Dunia. Jakarta: Serambi, 2013. 402 halaman.

Pendahuluan
Buku karya Hugh Goddard ini, boleh jadi dapat dipandang sebagai buku yang agak tertinggal jika dibandingkan dengan buku Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia karya Jean S. Aritonang (2004), atau karya Fatimah Husein (2005) yang berjudul Muslim-Christian Relations in The New Order Indonesia, yang langsung menukik pada pembahasan dalam konteks lokal Indonesia, dan yang lebih khusus lagi buku karya Alwi Shihab (1998) dengan judul Membendung Arus: Respons Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia. Sehingga tiga buku yang disebutkan terakhir ini mampu memberikan pandangan yang cukup kontekstual. Sedangkan buku yang disebut pertama memberikan pandangan yang global, tetapi perspektif global ini dapat menjadi bekal ketika masuk dalam konteks yang lebih lokal.  Meminjam teorisasi ‘sejarah global,’ membaca buku karya Goddard ini sebaiknya dengan semangat pandangan bahwa, perkembangan historis di suatu wilayah tertentu tidaklah terjadi dan berlangsung dalam situasi vakum dan isolatif (Azra, 2006 dan 2011).
Bukti terkaitnya isu global dengan isu lokal dalam konteks relasi Islam-Kristen ini, adalah tampak dalam berbagai karya-karya yang disebut di atas yang selalu mengaitkan awal perjumpaan Muslim Indonesia dengan umat Kristiani dengan kedatangan bangsa-bangsa Eropa ke kepulauan Nusantara, yang kini disebut dengan Indonesia. Bangsa-bangsa Eropa tersebut misalnya adalah Portugis, Spanyol dan Belanda (Aritonang, 2004 dan Shihab, 1998), yang kemudian diperkuat lagi oleh Karel Steenbrink (2006) dalam Dutch Colonialism and Indonesian Islam ketika membahas “The Age of Mission (1850 – 1940) and The Muslims” dan “Indonesian Reactions to The Christians Arrival.” Bahkan dalam karya Fatimah Husein (2005) dibahas pula relasi umat Islam-Kristen mulai pada masa Islam Klasik, yang diwakili oleh Ibn Taymiya (w. 1328) dan Ibn Hazm (w. 1064), dan pada abad 20 dalam konteks wacana dialog antara iman Internasional.
Buku Goddard ini, yang diterjemahkan dari bahasa Inggris dengan judul A History of Christian-Muslim Relations, tidaklah terlalu lama terbit, yakni tahun 2000, dan terjemahannya baru terbit dalam bahasa Indonesia pada Januari 2013. Jadi analisis-analisis atau kesimpulan-kesimpulannya masih mungkin untuk dipertimbangkan dalam kerangka dialog Islam-Kristen di Indonesia. Sebagai gambaran, buku ini dibagi menjadi delapan bab. Berturut-turut judul-judul babnya adalah sebagai berikut: “Kondisi Kristen ketika Islam Datang,” “Gelombang Kedatangan Islam,” “Era Pertama Perjumpaan Kristen-Islam (+/- 830  M/215 H).” “Periode I Abad Pertengahan: Konfrontasi atau Interaksi di Timur?” “Periode II Abad Pertengahan: Konfrontasi atau Interaksi di Barat?” “ Gelombang yang Berbalik: Barat yang Berdakwah dan Barat yang Menjajah,” “Pemikiran Baru pada Abad ke-19/ke-13 dan ke-20/ke-14.” Jika dilihat, judul-judul bab tersebut menggambarkan kronologis relasi Islam-Kristen bersama dengan isu-isu yang mengemuka di masing-masing rentang waktu kronologis tersebut. Telaah berikut mencoba membahas bagian-bagian dari beberapa analisis dan kesimpulannya yang dipandang penting. Namun sebuah teks tidak terlepas dari subyetifitas dan horison pengarangnya, maka penting diketahui latar belakang Hugh Goddard, sang penulis buku.

Hugh Goddard Menepis Standar Ganda
Hugh Goddard adalah seorang Kristiani yang menjadi guru besar studi Islam di Universitas Edinburgh. Ia juga adalah direktur The Prince Alwaleed Bin Talal Centre for the Study of Islam in the Contemporary World di tempat yang sama. Pendidikan kesarjanaannya dimulai di Universitas Oxford dengan mengambil fokus studi sejarah Islam di bawah asuhan Albert Hourani, seorang pakar kajian Timur Tengah serta penulis buku Arabic Thought in the Liberal Age 1798 - 1939 yang terkenal dan sudah menjadi klasik. Gelar doktor diraihnya dari The Centre for the Study of Islam and Christian-Muslim Relations di Brimingham. Sebelum menjadi guru besar di Universitas Edinburgh, ia pernah bekerja di beberapa negara di Timur Tengah, seperti Libanon, Yordania, dan Mesir. Ia juga berpengalaman melakukan penelitian di beberapa negeri-negeri Islam lainnya, seperti Pakistan, India, Nigeria, Malaysia, Indonesia, dan negara-negara di Asia Tengah. Terakhir ia menjadi guru besar hubungan Kristen-Muslim di Departmen studi teologi dan agama-agama di Universitas Nottingham pada 2004 sebelum akhirnya menjadi guru besar di Universitas Eddinburgh.
Selain buku A History of Christian-Muslim Relations, ia juga menulis beberapa buku lainnya yang masih terkait dengan tema hubungan Islam-Kristen, yakni Christians and Muslims: From Double Standards to Mutual Understanding (1995)—yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Menepis Standar Ganda: Membangun saling pengertian Muslim-Kristen (2000), dan Muslim Perceptions of Christianity (1996).  Selain itu ia juga menulis sekitar 35 artikel yang dimuat dalam jurnal ilmiah, maupun sebagain bagian dalam sebuah buku atau ensiklopedi. Dari tulisan-tulisannya tampaknya memang Goddard adalah seorang yang menekuni pemikiran dan gerakan dialog Islam-Kristen.
Salah satu pemikirannya yang penting dikemukakan di sini adalah mengenai pandangan standar ganda dalam hubungan Islam-Kristen, sebagaimana yang termuat dalam bukunya Christians and Muslims: From Double Standards to Mutual Understanding. Ia berpandangan bahwa hubungan Kristen dan Islam kemudian berkembang menjadi kesalahpahaman, bahkan menimbulkan suasana saling menjadi ancaman di antara keduanya, adalah disebabkan oleh suatu kondisi berlakunya “standar ganda.” Orang-orang Kristen maupun Islam selalu menerapkan standar-standar yang berbeda untuk dirinya yang lebih normatif misalnya, sedangkan terhadap agama lain mereka memakai standar lain yang lebih bersifat realistis dan historis. Dalam masalah teologi misalnya, ada standar yang menimbulkan masalah klaim kebenaran: “agama kita adalah agama yang paling sejati karena berasal dari tuhan, sedangkan agama lain hanyalah konstruksi manusia. Agama lain mungkin juga berasal dari Tuhan tapi telah dirusak, dipalsukan oleh manusia”. Dalam sejarah, standar ganda ini biasanya dipakai untuk menghakimi agama lain dalam derajat keabsahan teologis di bawah agamanya. Lewat standar ganda inilah, kita menyaksikan munculnya prasangka-prasangka teologis yang selanjutnya memperkeruh suasana hubungan antar umat beragama. Tegasnya ada standar yang berbeda untuk menilai agama sendiri dan agama orang lain. Dialog tidak akan berhasil jika selalu memajukan standar ganda ini, padahal pandangan yang sederajat sebagai sebuah etika dialog penting dikedepankan. Proses dialog apa pun mengandaikan suatu hubungan yang sederajat, yang di dalamnya kedua komunitas bisa saling menerima dan menghormati satu sama lain dengan batas-batas yang telah disetujui (Shihab, 1999).
Dengan asumsi adanya standar ganda inilah, Goddard menulis Sejarah Perjumpaan Islam-Kristen. Sebagaimana diketahui dalam studi perbandingan agama atau studi agama-agama pada umumnya, setidaknya ada dua kelompok besar cara pandang atau pendekatan, yakni normatif dan deskriptif-historis (Shihab, 1999 dan Abdullah, 1996). Pendekatan normatif menitikberatkan pada kajian mengenai normativitas ajaran agama, sedangkan pendekatan deskriptif-historis terkait dengan historisitas pemahaman dan interpretasi orang atau kelompok terhadap ajaran dan praktik keagamaan yang dianutnya. Pendekatan normatif adalah upaya untuk menjelaskan sebuah agama dengan menitikberatkan kebenaran doktrinal, keunggulan sistem nilai, otentisitas teks serta fleksibilitas ajarannya sepanjang masa. Pendekatan ini dengan sendirinya menggunakan cara-cara yang bersifat persuasif-apologetik dalam mempertahankan keunggulan ajaran agamanya. Dalam membandingkan suatu agama dengan agama lain, penekanan unsur-unsur kelemahan dan kekurangan pihak lain selalu ditonjolkan. Pendekatan deskriptif-historis menguraikan secara komprehensif aspek-aspek kesejarahan, struktur, doktrin, dan elemen-elemen lainnya tanpa terlibat dalam pemberian penilaian (Shihab, 1999: 46 – 47). Pendekatan deskriptif-historis ini didekati dan diteliti dengan disiplin-disiplin seperti sosiologi,  filsafat, psikologi, antropologi kebudayaan dan sejarah (Abdullah, 2005: vii).
Mana yang dipilih oleh Goddard? Dalam konteks buku ini tampaknya ia lebih memilih pendekatan yang kedua, yakni deskriptif-historis. Hal ini tampak jelas dalam bagian pendahuluan bukunya. Ia menulis: “Sebuah buku yang berusaha meneliti hubungan Kristen-Islam selama berabad-abad dan di berbagai kawasan geografis perjumpaan keduanya tentu saja akan menjadi bahan rujukan yang sangat aktual.” Jelas ini adalah sebuah pendekatan sejarah, sebuah pendekatan yang “membantu mereka (umat Kristiani dan Muslim) memahami bagaimana mereka tiba dalam situasi saat ini (h. 17). Memang, pendekatan deskriptif-historis, sebagaimana yang disinyalir oleh Alwi Shihab (1999: 49) penting untuk menghindari konflik agama. Pendekatan deskriptif-historis dapat memberikan saling pengertian antarumat beragama, dan kesaling pengertian ini adalah salah satu syarat tercapainya kerukunan antarpemeluk agama.

Kesamaan Asal-Usul
Siapapun yang mengkaji hubungan agama-agama tradisi Ibrahim (Abrahamic religions), yakni Yahudi, Kristen dan Islam, sadar akan kesamaan asal-usul ketiga agama ini, baik secara geografis maupun tokoh-tokoh yang membawa risalahnya, meskipun masing-masing  mempunyai pandangan yang berbeda secara teologis atas para utusan Tuhannya. Kesadaran akan kesamaan tersebut juga tampak ditunjukkan oleh Goddard. Ia mengakui, sejak di awal pendahuluan bukunya, bahwa agama Islam dan Kristen lahir dan berkembang di Timur Tengah, sebuah wilayah yang oleh Marshall Hudgson (1977: 60) disebut dengan ‘Nile to Oxus’. Bahkan dilihat dari sudut tertentu, ketiga agama tradisi Ibrahim ini bertemu dalam satu wilayah dan bangunan peribadahan yang sama, yakni Jerusalem, yang saat ini menjadi wilayah Israel dan Palestina.  Namun buru-buru dikemukakan juga bahwa meskipun ketiganya sama dalam hal asal-usul geografis dan tokoh-tokoh pembawa risalahnya, ketiganya juga  mempunyai pandangan teologis yang sama. Karenanya menjadi sangat berlebihan untuk begitu saja menyamakan ketiga sistem teologi ketiga agama ini, termasuk dalam memandang hubungan Islam-Kristen.
Tidak hanya sistem teologi yang berbeda, wilayah cakupan pemeluk agama Kristen dan Islam dalam perkembangannya menjangkau wilayah juga berbeda dan menjadi agama mayoritas, yakni Kristen di Eropa dan Amerika, sementara Islam di Afrika dan Asia. Selama berabad-abad, terutama pada abad pertengahan dan modern, perimbangan kekuatan dua agama besar ini menglamai perkembangan yang fluktiatif. Terkadang umat Islam yang bergerak aktif, sedangkan umat Kristen bereaksi terhadap perkembangan tersebut. Sebaliknya, di lain waktu umat Kristen aktif bergerak dan umat Islam memberikan reaksi terhadap gerakan tersebut. Selanjutnya pada perkembangan dewasa ini, Goddard berargumen bahwa terjadi peningkatan dalam perimbangan kekuatan Islam-Kristen. Hal ini disebabkan karena arus globalisasi dalam bidang perdagangan dan informasi turut menyemarakkan interaksi dan perjumpaan Islam-Kristen.
Kesamaan asal-usul tampak dalam bagian pembahasan “Sejarah Gereja Kristen di Timur Tengah.” Goddard berargumen bahwa ada kesamaan antara Gereja Kristen dan komunitas Islam, keduanya memiliki asal-usul di Timur Tengah. Perkembangan Gereja Kristen di Timur Tengah menjadi terpecah sejak masuknya Kaisar Romawi, Konstantinus, ke dalam agama Kristen pada dasawarsa kedua abad keempat. Sejak saat itulah Gereja Kristen terpisah menjadi dua, yakni Gereja Kristen Barat dan Gereja Kristen Timur. Ketika Gereja Kristen tengah tercabik-cabik oleh pertikaian internal, Islam lalu muncul pada abad ketujuh. Atas dasar pertikaian ini kalangan Islam, sebagaimana yang ditunjukkan dalam al-Quran (5:14), menolak klaik kaum Kristiani sebagai pemilik kebenaran (h. 34).
Meskipun semua pengaruh Kristen di wilayah perbatasan Jazirah Arab yang masih merupakan zona Timur Tengah (Nile to Oxus), agama Kristen tidak punya peran yang cukup berarti terhadap perkembangan masyarakat di Jazirah Arab sendiri. Inilah alasan mengapa Islam, yang dirisalahkan melalui Muhammad mendapat tempat di kalangan penghuni Jazirah Arab, terutama di Madinah (h. 43). Goddard mencatat selama perkembangan ajaran Muhammad di Madinah, antara 622 dan 623 M, ada beberapa pola hubungan yang terjalin antara kaum Muslim dengan yang bukan Muslim, termasuk di dalamnya kaum Yahudi dan Kristen. Al-Quran sendiri mengungkapkan beberapa pernyataan positif mengenai Yesus dan orang Kristen, yang diperkirkan berasal dari periode tengah kenabian Muhammad, ketika hubungan antara kaum Muslim dengan kaum Yahudi sedang memanas. Di lain kesempatan, ada satu periode sikap dan tindakan Muhammad terhadap komunitas Yahudi tampak toleran sebagaimana yang terbaca dalam piagam Madinah, dan di lain kesempatan lagi, tampak lebih kaku dank eras sebagaimana dialami oleh kaum Yahudi Khaibar. Namun, yang penting dicatat menurut Goddard, di akhir hayatnya, Muhammad menampakkan sikap yang lebih moderat kepada kaum Yahudi dan Kristen, serta menerima keduanya sebagai bagian dari masyarakat Madinah. Sikap-sikap moderat dan toleran ini juga dibenarkan oleh Quraish Shihab dalam Membaca Sirah Nabi Muhammad Saw (2012: 40), yang menyatakan bahwa meskipun terdapat perbedaan keyakinan yang jauh berbeda, antara umat Islam dengan keyakinan umat Kristen dalam hal ketuhanan, namun itu tidak mengakibatkan konflik antara Nabi Muhammad dan sahabat-sahabatnya dengan kaum Kristiani ini. Hal ini bukan saja disebabkan sedikitnya jumlah orang Kristen baik di Mekkah maupun Madinah, tetapi juga karena mereka tidak seperti orang-orang Yahudi yang merasa diri mereka “bangsa pilihan Tuhan,” sehingga angkuh dan cenderung menindas, apalagi mereka sangat materialistis.

Abad Pertengahan: Interaksi dan Konfrontasi
Sebagai satu fenomena yang menarik dalam sejarah perjumpaan Islam-Kristen, hubungan keduanya tidak pernah berjalan di atas satu pola yang baku, tetapi terus mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Selama periode pertama perjumpaan Islam-Kristen, masing-masing pihak menampilkan pandangan yang beragama terhadap pihak lain. Kaum Kristen sendiri memandang dan memahami Islam berbeda-beda: Islam sebagai pemenuhan janji Tuhan kepada Abraham/Ibrahim dan Ismail; sebagai hukuman Tuhan atas kaum Kristen yang keliru merumuskan ajaran Kristologi mereka; atau Islam sebagai bidah Kristen. Begitu juga, kaum Muslim memperlakukan dan memandang Kristen dengan cara yang berbeda-beda, dari sikap yang mengedepankan permusuhan hingga sikap yang lebih toleran dan damai dengan menerapkan beberapa syarat dan batasan (h. 102). Penting dicatat, tanggapan dan pandangan kaum Kristen terhadap Islam sangat dipengaruhi oleh perlakukan penguasa Muslim terhadap mereka, yang perlakukan itu berbeda-beda seiring dengan perkembangan zaman.
Pada tahap lanjutan ini, yang terjadi di abad pertengahan, Goddard membagi menjadi dua periode: periode I dan periode II. Periode pertama terjadi di Timur, sedangkan periode kedua terjadi di Barat. Di masing-masing periode terjadi konfrontasi maupun interaksi. Hal yang menarik interaksi pada periode Timur adalah interaksi dalam hal proyek pengembangan ilmu pengetahuan, yang dikembangkan oleh Khalifah al-Ma’mun (berkuasa pada 813 – 833 M) pada masa dinasti Abbasiyah. Khalifah al-Ma’mun mendirikan Bayt al-Hikmah di Baghdad, yang bertujuan untuk menerjemahkan karya-karya Yunani dan karya-karya lain ke dalam bahasa Arab. Proyek penerjemahan ini banyak melibatkan orang Kristen. Khalifah al-Ma’mun bukan yang pertama melakukan proyek ini, para penduhulunya, Khalifah al-Mansur (754 – 775 M) dan Harun al-Rasyid (786 – 809 M) telah mengawali gerakan penerjemahan ini. Namun, masa al-Ma’mun menampilkan contoh awal tentang dialog Kristen-Islam: para utusan dari tiap kelompok  agama diizinkan mengemukakan dasar dan praktik agama mereka dengan tingkat kejujuran dan keterbukaan yang tinggi. Proses pertukaran budaya pada masa ini terus berlangsung (h. 108). Kaum Kristen pun, pada masa ini banyak menggunakan bahasa Arab, suatu bahasa yang dikenal sebagai bahasa wahyu al-Quran dalam Islam. Dicatat oleh Goddard, banyak penerjemahan Injil ke dalam bahasa Arab, bahkan bahasa Arab juga digunakan digunakan sebagai bahasa Liturgi, setelah bahasa-bahasa Yunani, Persia, dan Koptik (h. 114).
Selanjutnya, kontak Islam dengan Kristen Barat bermula dari serangkaian penaklukan pasukan Islam atas beberapa wilayah Eropa atau semanjung Iberia setelah sebelumnya menaklukan kota Toledo (sebuah kota di Spanyol sekarang), yang dipimpin oleh Panglima Thariq. Pada saat itulah seluruh Eropa Barat menyadari kedatangan Islam. Penilaian yang sangat buruk terhadap Islam, yang berkembang di Spanyol pada abad kesembilan inilah yang mendasari kemunculan gerakan lain dalam Kristen di penghujung abad kesebelas, yaitu gerakan Kristen militan melalui perang salib. Oleh karena itu, perang salib meninggalkan jejak-jejak kecurigaan yang melekat dengan kuat dalam diri bangsa Arab dan di seluruh dunia Islam. Perang salib mewariskan enam hal: pertama, di kalangan Muslim, perang salib mewariskan kecurigaan abadi terhadap kalangan Kristen Barat; kedua, semua rangkaian perang salib juga mendorong kebangkitan ekspansi Islam; ketiga, perang salib menegaskan sentimen di kalangan Muslim, bahwa Yerusalem merupakan tempat suci ketiga bagi Islam; keempat, bagi kaum Kristen, perang salib bertanggung jawab atas memburuknya posisi kaum Kristen yang hidup di bawah pemerintahan Muslim, karena mereka senantiasa dicurigai; kelima, perang salib melapangkan jalan bagi keterlibatan Gereja Barat di Timur Tengah; keenam, perang salib juga memberikan kontribusi terhadap perkembangan hubungan antara dunia Barat dengan Islam (h. 179 – 180).
Terkait dengan warisan yang keenam ini, lebih lanjut Goddard mencatat bahwa ironi dalam sejarah Abad Pertengahan di Barat adalah: pada saat yang sama ketika perang salib terjadi, berlangsung pula di beberapa bagian Eropa, berlangsung pula pertukataran intelektual dan kultural antara kaum Muslim dengan kaum Kristen. Seperti di Baghdad pada abad kesembilan yang terjadi penerjemahan karya-karya intelektual Yunani ke dalam bahasa Arab, di Spanyol abad kedua belas pun terjadi hal yang sama. Hanya saja yang terjadi adalah penerjemahan dari bahasa Arab ke dalam bahasa Latin (h. 192). Sebagaimana diketahui, pada tahun 1000, Eropa mengalami kemunduran dalam bidang intelektual, lemah dan terpecah-pecah dalam bidang politik, dan dari sisi sosial-ekonomi lebih jauh tertinggal jika dibandingkan dengan dunia Islam. Namun, pada abad kedua belas, keadaan mulai berubah akibat penyebaran Yunani ke Barat melalui dunia Islam. Bahkan George Makdisi (1981), seorang sejarawan lembaga pendidikan Islam, menyatakan bahwa pengaruh Islam tampak dalam kelembagaan pendidikan yang berkembang di Eropa Barat. Lalu, di Eropa Barat munculah apa yang disebut era Renaissance dan merupakan awal dari modernisme.
Era ini kemudian menjadikan gelombang yang berbalik, yakni menjadi Barat yang berdakwah dan Barat yang menjajah. Seraya bangkitnya kekuatan Eropa dan era penjajahan terhadap bangsa-bangsa Muslim di benua Asia dan Afrika, terjadi pula penyebaran misi Kristen. Tentu saja penyebaran misi ini didorong oleh keyakinan teologis para missionaris Kristen, yang dilapangkan jalannya oleh imperialisme. Menghadapi perkembangan kekuatan dan imperialisme Eropa di satu pihak dan peningkatan misi Kristen di lain pihak, dunia Islam bereaksi dengan berbagai cara yang berbeda-beda. Keragaman ini disebabkan luas dan beragamnya dunia Islam itu sendiri. Untuk konteks Indonesia, simbiosis mutualisme antara imperialisme dan misi Kristen serta responnya dengan sangat baik dijelaskan oleh Steenbrink (2006).

Pemikiran Baru: Abad ke-19 dan ke-20
Seiring dengan berjalannya aktivitas misi dan imperialisme, berkembang juga di sisi lain suatu kajian akademik tentang Islam. Meskipun para sarjana Barat tetap saja tidak sepenuhnya berhasil melakukan kajian obyektif dan tidak memihak, sebagaimana yang disinyalir oleh Edward Said (1979) yang banyak mengkritik ideologi orientalisme. Sebagaimana dikemukakan oleh Steenbrink (2006) dan Baso (2005) dalam Islam Pasca-Kolonial: Perselingkuhan Agama, Kolonialisme dan Liberalisme, untuk kasus Indonesia, terdapat beberapa sarjana yang memang mengkaji Islam “untuk kepentingan” kolonialisme Belanda, seperti K.F. Holle (1829 – 1896), Snouck Hurgronje dan Godard Arend Hazeu. Namun ideologi orientalisme dan misi Kristen bukan merupakan hal yang dapat digeneralisasi. Setidaknya ada tiga tipologi pandangan kaum Kristen terhadap kaum Muslim, dan begitu sebaliknya pandangan kaum Muslim terhadap kaum Kristen, yakni: eksklusif, inklusif, dan pluralisme (h. 282).
Pada abad kedua puluh juga menandakkan munculnya hasrat besar untuk berdialog, meskipun perkembangan ini tidak sepenuhnya baru, namun perkembangan baru abad kedua puluh melibatkan aktivitas pemikiran yang lebih maju, yang ditunjang oleh perkembangan kajian kritis modern terhadap agama. Konsili Vatikan II menjadi penanda penting yang mengubah pandangan Kristen tradisional yang eksklusif terhadap Islam. Konsili itu juga mengajak umat Kristen dan kaum Muslim untuk melupakan masa lalu dan berusaha dengan tulus untuk saling memahami dan bekerjasama satu sama lain. Goddard juga mencatat beberapa upaya dialog yang dilakukan oleh kaum Kristen, baik Katolik yang diwakili oleh Vatikan, maupun Protestan melalui Dewan Gereja Sedunia (h. 322 – 333). Banyak topik yang menarik yang muncul dalam berbagai konfrensi dialog Islam-Kristen tersebut, di antaranya adalah mengenai masalah kontroversial tentang misi/dakwah dan kedudukan penganut agama minoritas. Dalam konteks tertentu dialog antar agama juga terjalin seiring dialog politik antar negara pasca akhirnya masa kolonialisme.
Hal yang penting diperhatikan sebagaimana dikemukakan oleh Goddard, adalah kesimpulannya bahwa inisiatif dialog lebih banyak berasal dari kalangan Kristen. Kenyataan ini, dalam batas-batas tertentu juga diakui oleh para penulis Muslim sendiri tentang hubungan Islam-Kristen. Namun, kenyataan ini tidak berarti bahwa kaum Muslim tidak pernah terlibat dialog dan tidak pernah berinisiatif dalam dialog Islam-Kristen, sebagaimana yang dilakukan oleh Raja Maroko, Hasan II (1962 – 1999) pada 1985. Sangat disayangkan, Goddard tidak mengulas lebih dalam alasan-alasan sedikitnya inisiatif kaum Muslim untuk dialog Islam-Kristen, yang justru penting bagi bahan evaluasi kalangan Muslim.

Penutup
Uraian sejarah relasi Islam-Kristen Goddard berhenti hingga abad ke-20, dan menyisakan pertanyaan tentang relasi tersebut pada abad ke-21, yang sedang dijalani oleh umat manusia sekarang. Buku ini memang cukup ambisius. Tidak seperti buku-buku lain dengan tema yang sama tetapi lebih terfokus pada kasus-kasus tertentu, buku ini merentangkan sejarah hubungan Islam-Kristen dalam masa yang berabad-abad. Akibatnya detil-detil kasus dialog atau konfrontasi di tingkat lokal, seperti di berbagai negara agak terabaikan. Tentu saja ini menjadi kekurangan tersendiri dan sekaligus, sebagaimana dikemukakan dalam bagian pendahuluan tulisan ini, menjadi kelebihan karya Goddard. Terlepas dari kekurangan itu, buku ini menjadi bahan rujukan yang penting, untuk mengambil pelajaran—terlebih bagi pembuat kebijakan (decision maker)—tentang dinamika hubungan Islam-Kristen di tingkat global, dalam konteks Indonesia di mana penganut kedua agama tersebut jumlahnya signifkan.

Daftar Bacaan
Abdullah, M. Amin. 1996. Studi Agama: Normativitas atau Historisitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
-------. 2005. “Kata Pengantar,” dalam Kitab Suci Agama-Agama, Wilfred Cantwell Smith. Jakarta: Teraju.
Aritonang, Jean S. 2004. Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia. Jakarta: BPK.
Azra, Azyumardi. 2006. “Historiografi Islam Indonesia: Antara Sejarah Sosial, Sejarah Total, dan Sejarah Pinggir,” dalam Menjadi Indonesia: 13 Abad Eksistensi Islam di Bumi Nusantara, eds. Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF. Jakarta: Mizan.
-------. 2011. “Historiografi Kontemporer Indonesia,” dalam Panggung Sejarah: Persembahan kepada Prof. Dr. Denys Lombard, eds. Henri Chambert-Loir dan Hasan Muarif Ambary. Jakarta: EFEO.
Baso. Ahmad. 2005. Islam Pasca-Kolonial: Perselingkuhan Agama, Kolonialisme dan Liberalisme. Bandung: Mizan.
Goddard, Hugh. 2000. Menepis Standar Ganda: Membangun saling pengertian Muslim-Kristen. Yogyakarta: al-Qolam.
Hudgson, Marshall G.S.  1977. The Venture of Islam, Conscience and History in World Civilization: The Classical Age of Islam. Chicago and London: The University of Chicago Press.  
Husein, Fatimah. 2005. Muslim-Christian Relations in The New Order Indonesia: The Exclusivist and Inclusivist Muslims’ Perspective. Bandung: Mizan Pustaka.
Makdisi, George. 1981. The Rise of Colleges: Institution of Learning in Islam and the West. Edinburgh: Edinburgh University Press.
Said, Edward W. 1979. Orientalism. New York: Vintage Books.
Shihab, Alwi. 1998. Membendung Arus: Respons Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia. Bandung: Mizan.

-------. 1999. Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama.  Bandung: Mizan.
Shihab, Quraish. 2012. Membaca Sirah Nabi Muhammad Saw dalam Sorotan al-Quran dan Hadits-Hadits Shahih. Jakarta: Lentera Hati.
Steenbrink, Karel. 2006. Dutch Colonialism and Indonesian Islam: Contacts and Conflicts 1596 – 1950. Amsterdam – New York: Rodopi B.V. 

(Tulisan ini terbit di Jurnal Harmoni Puslitbang Kehidupan Keagamaan pada tahun 2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar